"Selain itu implementasi agroforestri ini juga dapat meningkatkan nilai ekonomi penggunaan lahan sekitar 20 persen," katanya di Malang, Minggu (26/5).
Akan tetapi, nilai keuntungan tersebut di lapangan akan bervariasi, tergantung pada produksi pohon yang dipengaruhi oleh kesesuaian jenis pohon dengan lokasi yang dipilih, manajemen lahan serta permintaan pasar.
Menurut dia, agroforestri adalah menanam jenis tanaman tahunan dengan optimalisasi lahan untuk menambah pendapatan sekaligus melestarikan lingkungan.
Ia mengakui, di era perubahan iklim saat ini, masalah pertanian semakin kompleks, tidak hanya di sektor ekonomi, tapi juga dari sektor sosial dan lingkungan berupa air, biodiversitas serta cadangan karbon.
Upaya penghitungan emisi dari setiap provinsi di Indonesia sangat dibutuhkan saat ini untuk mendukung pemerintah dalam meyakinkan dunia bahwa Indonesia mampu menurunkan emisi CO2, CH4 dan N2) (GRK) sebesar 26% pada 2020.
Di Jawa Timur, peningkatan hutan rakyat atau agroforestri mampu menekan emisi sekitar 22% dari total luasan 756.163 hektare pada 2006 menjadi 1.052.550 hektare di 2012.
Namun, saat ini paradigma pengelolaan agroforestri sedikit berubah karena dorongan kepentingan lokal, seperti jenis tanaman (pohon) yang ditanam dan kepentingan global seperti pengentasan kemiskinan serta ketahanan pangan.
Di tingkat plot, pohon dalam sistem agroforestri sangat bermanfaat dalam mempertahankan kesuburan tanah, pengendalian limpasan permukaan dan erosi, pengendalian serangan hama serta penyakit.
Pada kenyataannya, tidak semua pohon dapat memberikan dampak yang menguntungkan, tergantung dari pengelolaannya, antara lain meliputi jenis tanaman dan kombinasinya dengan penyusunan lainnya, misalnya ternak, ikan atau lebah.
"Selain itu, juga dipengaruhi oleh pengaturan sinar yang mausk melalui pengaturan pola tanam dan pemangkasan cabang, pemupukan tumbuhan bawah, pengaturan kedalaman perakaran tanaman untuk mengurangi kehilangan hara," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar