Sensor Internet Tidak Bisa Selesaikan Masalah - Belum lama terbetik lima siswa Sekolah Dasar (SD) di Poso, Sulawesi
Selatan, memperkosa teman sekelasnya. Setelah ditanya, lima anak
tersebut mengaku terdorong untuk memperkosa setelah melihat foto porno
di ponsel. Masih hangat di berita, seorang siswi SMP di Jakarta Timur
jadi korban perkosaan dan penyekapan oleh lima “teman” Facebook-nya.
Korban dibujuk untuk kopi darat dengan iming-iming akan diberi
smartphone. Kemudian gadis belia ini dibawa ke rumah kontrakan, dan di
sana disekap berhari-hari.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus
penculikan, perkosaan, terhadap remaja dan anak-anak, yang berawal dari
social media maupun internet, seolah sudah menjadi berita sehari-hari.
Miris rasanya, teknologi yang semestinya mempermudah aktivitas manusia
justru dimanfaatkan untuk hal kriminal. Terlebih lagi korbannya anak dan
remaja.
Apa yang harus diperbuat? Memblokir? Menyensor?
Memfilter? Melarang anak-anak mengakses social media sama sekali?
Mustahil. Ada lebih dari 43 juta pengguna Facebook di Indonesia,
demikian dilansir Sociobalkers.com tahun lalu. Tahun ini pasti angka itu
sudah membengkak. Sebagian besar dapat dipastikan adalah anak-anak dan
remaja. Aturan bahwa user facebook harus di atas 16 tahun agaknya tak
dihiraukan. Memalsukan usia di dunia maya bukan hal sulit.
Kita
tidak bisa membendung arus informasi dan kemajuan teknologi. Semuanya
adalah imbas dari kemajuan peradaban. Sulit juga jika harus memblokir
kemajuan teknologi dan informasi ke anak dan remaja. Sebab kebijakan
pemblokiran hanya akan menuai masalah baru, yakni peretasan alias
pembobolan.
Memblokir informasi juga cenderung membuat orang
tua merasa segalanya sudah aman-aman saja, padahal tidak. Komputer dan
gadget di rumah bisa saja difilter, disterilkan dari aneka akses ke
situs porno maupun social media.
Namun apakah anak dan remaja
akan diam saja? Tentu tidak. Semakin dilarang, mereka akan semakin
penasaran. Boleh saja mereka berkelakuan manis di rumah, tidak mengakses
situs porno atau bermain Facebook, sebab semua komputer sudah difilter.
Tapi mereka bisa pergi ke Warnet, meminjam laptop teman, atau membuka
web apa saja di ponselnya.
Ingat, sekarang ponsel standar
sekali pun sudah didukung browser. Tindakan yang dilakukan diam-diam,
tanpa sepengetahuan orang tua, justru akan jauh lebih berbahaya
ketimbang yang dilakukan secara transparan. Sebab tidak ada lagi yang
dapat mengontrol mereka.
Banyak orang tua kecolongan, merasa
anaknya berkelakuan baik di rumah, tidak pernah membuka situs porno,
tahu-tahu justru berbuat asusila. Setelah diselidiki, ternyata si anak
mengakses situs porno di warnet atau rumah teman.
Ada pula
sikap abai orang tua, yang menganggap anaknya akan baik-baik saja
dibebaskan mengakses berbagai informasi tanpa pembekalan pesan moral
apapun. “Ah, biar saja. Zaman sudah modern, kita orang tua bebaskan saja
mereka, nanti kalau tidak dibilang ketinggalan zaman.”
Orang
tua membelikan semua gadget yang dibutuhkan anak, dan membebaskan mereka
asyik di dalamnya. Kemudian orang tua pun sibuk sendiri dengan
gadget-nya. Bahkan ada pula orang tua yang justru senang kalau
anak-anaknya sibuk dengan gadget, sebab tidak akan rewel dan menganggu
ketenangan. Mereka dibiarkan bermain games berjam-jam tanpa batas waktu,
atau asyik di depan Facebook tanpa monitor.
Kita tidak perlu
mencari siapa yang bersalah. Facebook, video games, Twitter, situs
porno, atau apapun itu, hanyalah teknologi buatan manusia. Tentunya bisa
dikendalikan manusia.
Anak-anak dan remaja, adalah user teknologi, yang bisa saja
euphoria terhadap kemajuan teknologi, sehingga mudah percaya dengan konten di dalamnya.
Sementara orang tua, adalah pembimbing anak, yang kemungkinan masih
gagap teknologi, sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang mampu memahami
bagaimana menyikapi kemajuan teknologi dan euforia anak.
Sekali lagi, jangan salahkan teknologi, sebab itu hanya alat buatan manusia. Kitalah manusia yang memegang kendali atasnya.